Kisah Nyata Tentang Begu Ganjang

Kisah Nyata Tentang Begu Ganjang

Sebuah Cerpen Kisah Nyata Tentang Begu Ganjang

Cerita ini aku awali dari tahun 2011, saat pertama kali lelaki yang kini menjadi suamiku membawa aku mangalua (sebuah acara sederhana orang Batak, membawa dan memperkenalkan calon pengantin wanita ke rumah orangtua calon pengantin pria sebelum hari pernikahan) ke rumah orangtuanya di sebuah desa. Tidak perlu dijelaskan secara rinci nama desa dan kabupatennya.

Lazimnya seorang perantau yang membawa pulang calon istri, pasti seisi rumah akan penuh dengan dongan sahuta (teman sekampung) yang ingin melihat calon menantu baru, tapi hal itu tidak aku temukan di rumah calon mertua. Kami hanya disambut oleh beberapa orang anggota keluarga saja. 

Malamnya juga tidak ada acara makan-makan seperti kebiasaan orang Batak yang mengundang tetangga dan rekan-rekan satu kampung. 

Walaupun kedatangan kami disambut calon mertua dengan menyembelih seekor ternak, namun yang datang untuk makan malam hanya keluarga inti.

Aku tidak mengerti apa-apa. Yang aku tau, aku merasa tidak nyaman di rumah ini. 

Selanjutnya aku hanya diam menyesuaikan diri sambil menyimak keluarga inti membicarakan pernikahan kami. Tidak ada pembicaraan yang alot, keluarga inti sepakat untuk tanggal pernikahan. 

Sesuai dengan permintaan kami yang terkendala di tempat kerja kami masing-masing (karena kebanyakan cuti juga tidak diberi atasan). Maka keluarga menyepakati prosesnya dipercepat seminggu ke depan. 


Malam hari setelah semua pembicaraan rampung, calon ibu mertua mengajak aku istirahat, beliau membawa aku ke sebuah kamar. 

"Kamar ini kosong, makanya sedikit kotor dan berantakan." Kata calon Ibu mertua sambil memberesi tempat tidur.

"Biar aku yang memberesi, Inang. Inang tidur aja duluan..." Kataku mengambil alih beberes.

Aku harus mengambil hati, harus menyesuaikan diri...

Rumah calon mertua ini lumayan besar, punya tiga kamar, tapi yang ditempati hanya satu. Karena penghuni rumah ini hanya mereka berdua, anaknya semua sudah menikah, tinggal kami yang belum. 

Berhubung (karena) kami datang, maka dua kamar lainnya difungsikan. Aku di kamar belakang dekat dapur, calon suami di kamar samping.

Beberapa keluarga yang tadi datang memilih pulang dan tidak menginap disini, seperti kebiasaan orang Batak kalau mau ada pesta. 

Entah mengapa aku merasa tidak nyaman di kamar ini...

Aku merebahkan diri. Lelah perjalanan jauh dari Medan, tidak membuat aku bisa tidur. 

Pikiranku terbayang saat pertama masuk ke rumah ini masih dengan menenteng tas besar, aku seperti mendengar suara tawa yang sangat berat..

Mungkin aku kelelahan, tapi suara itu seperti jelas terdengar. Apakah saat itu ada keluarga mereka yang tertawa? Aku tidak tau...


Aku belum sepenuhnya tidur ketika aku melihat ada sepasang kaki yang sangat besar berdiri di dekat lemari...

"Tuhan Yesus..." 

Aku setengah terperanjat, spontan aku menyebut nama Tuhan. Sesaat kemudian sosok itu menghilang, hanya sekali kejapan mata. 

Aku memandangi sekeliling kamar, pandanganku tertuju pada lemari kayu tempat sepasang kaki besar tadi, seperti ada sesuatu disitu.... 

Jam 01.15.
Aku telepon calon suami, diangkat... 

"Bang, kemari sebentar...."

Tak berapa lama dia datang

"Kita tidur diruang tamu aja bang, Aku...." Aku nggak sanggup melanjutkan.

"Ya udah, ayo sama kita tidur di ruang tamu." Kata dia sambil menepuk pundakku.

Dia segera membentangkan tikar dua lapis karena udara dingin.

Kami masih cerita-cerita sebentar sebelum calon suamiku tertidur pulas, sementara aku belum bisa tidur.

Gelisah...

Jam 2.
Aku pejamkan mata, tapi nggak bisa juga tidur... 

Telungkup, miring ke kiri, miring ke kanan, telentang, menutup mata pakai selimut. Entah gaya apa lagi yang sudah kulakukan, tapi tidak bisa juga tidur. 

Saat aku membalikkan badan betapa terkejutnya aku karena calon ayah mertua sudah berdiri menatap tajam ke arahku... 

"Eehh, Amang... " Kataku terbata.

Tatapan dan raut wajah beliau sangat menakutkan, apakah aku yang terlalu merasa? 

Calon Ayah mertua hanya diam, lalu masuk ke kamar.

Aku olesi kelopak mataku dengan balsem agar bisa tidur, sekian lama hingga aku benar-benar tidur dan bermimpi yang menakutkan. 

Dalam mimpiku ada sosok dengan kaki besar mondar-mandir di dalam rumah dan aku terbangun ketika kaki besar itu akan menginjak aku.

Masih jam 5 pagi...
Bajuku basah oleh keringat, sosok yang menakutkan itu seperti nyata adanya. 

"Bang... bangun, kawani aku ke dapur." Aku membanguni calon suami agar menemani aku masak dan beres-beres di dapur...


Malam kedua..

Aku mencium bau busuk dari kamar belakang. Pikiranku tidak karuan.

Tiba-tiba ada sosok yang sangat besar berdiri dihadapanku, aku memandang wajahnya yang sangat menakutkan. 

Sosok itu mencekik leherku dengan tangannya yang besar dan kuat.

Aku melawan, 
Aku meronta, 

Sosok itu semakin kuat mencekik leherku, mengangkat aku begitu tinggi. Sambil meronta-ronta, aku berteriak sekuat tenaga.

"Tuhan Yesus tolong aku..."

Aku terbangun ketika calon suamiku menepuk-nepuk pipiku.

"Dek, bangun... Dek... Dek..."

Oh... Aku bermimpi lagi,  

Masih jam 3 pagi. Aku pegang tangan calon suamiku erat-erat.

Dan sekilas aku melihat calon Ayah mertua dibalik gorden, sekejap lalu masuk ke kamar. 

Aku diam.... 

Dalam hati aku bertanya: "Ada apa di rumah ini?"


Hari ketiga..

Calon suami membawa aku ke rumah Inang (istri saudaranya calon bapak mertua) yang rumahnya kira kira 1 jam perjalanan dari rumah calon mertua. 

Inang ini belum datang ke rumah saat kami tiba. Jadi calon suami berniat membawa aku berkunjung sekalian mengundang. 

Di rumah Inang ini aku merasa sangat nyaman, entah kenapa.... 

"Mertuamu (saudaranya calon bapak mertua), sudah meninggal 10 tahun yang lalu..." Begitu Inang membuka cerita saat calon suamiku pergi ke luar untuk membeli rokok.

"Sakit apa, Inang....?" Aku bertanya mencairkan suasana.

"Tidak sakit, mati tidak wajar..." Kata Inang pelan.

"Apa dia (maksudnya calon suamiku) tidak pernah cerita kepadamu tentang keluarganya?" 

Pertanyaan Inang ini membuat jantungku berdebar... 

"Cerita sih Inang, yang umum-umum aja." Jawabku.

Tidak berapa lama, calon suamiku pulang.

Inang segera melambaikan tangan memberi isyarat agar bergabung dalam obrolan kami.

"Kau tidak cerita sama dia...?" Inang bertanya lembut kepada calon suamiku.

"Nggak, Inanguda. Bagaimana mungkin aku harus cerita semua." Calon suamiku menjawab gugup.

Dia memandang aku seperti merasa bersalah. Jantungku berdebar kencang.

"Ada apa ini...?" tanyaku dalam hati.

"Kau harus ceritakan semua agar dia tau, kau tidak boleh menyembunyikan cerita itu. Karena cepat atau lambat, dia akan tau juga."

"Percayalah. Jika dia mencintaimu, dia akan menerima kau apa adanya, tapi ingat tugasmu sebagai laki-laki harus melindungi dia." 

Inang yang ini sangat lembut, intonasi suaranya sangat berwibawa, makanya aku merasa nyaman. 

"Ada apa sebenarnya, Bang...?" Aku bertanya.

"Ahh... Bingung aku, Dek. Biar Inanguda aja yang cerita. Makanya kau kubawa kesini." Dia kelihatan sangat tertekan dengan situasi ini. 

"Aku harus ceritakan ini agar kau tidak berpikir macam-macam tentang dia (maksudnya calon suamiku). Dia orang baik, aku mengenal dia sedari dia masih bayi, aku pernah mengasuh dia, bahkan dia tamat SMA dari sini, dia baik."

Inang berkata meyakinkan aku bahwa tidak ada yang salah dengan calon suamiku...

"Kau harus tau kalau calon mertuamu memelihara Begu Ganjang."  

Jantungku seperti berhenti mendengar penjelasan Inang.

Begu Ganjang, cerita horor yang selalu kudengar di masa kecilku. Sekarang ada di sekitarku... 

Apakah itu yang membuat aku merasa tidak nyaman di rumah itu? 

Seolah-olah tau apa yang aku pikirkan. Kata Inang:

"Jangankan kau, anaknya sendiri tidak nyaman di rumah itu...."

"Eehh.. kita bermalam disini aja. Biar aku telepon bapak bilang kalau kita tidak pulang. Biar panjang kita cerita". Kata calon suamiku sambil beranjak keluar.

"Heii.. jangan kau bilang kalian bermalam disini, nambah masalah kau nanti. Bilang saja di rumah kawanmu, sekalian ngurus keperluan nikah." Kata Inang teriak

Calon suamiku hanya mengangguk tanda mengerti.

Selama calon suami di luar, Inang melanjutkan ceritanya.

"Jadi dia tidak ada cerita tentang keluarganya? Tentang abang-abangnya?" Tanya Inang.

"Dia cerita. Mereka 4 bersaudara, laki-laki semua, tiga abangnya sudah berumah tangga, tinggal kami yang belum." Aku menceritakan seperti cerita yang kudengar.

"Dia tidak ada bilang kalau ketiga abangnya sudah mabalu (duda)." Tanya Inang.

Darahku seperti berhenti... 

Aku pucat.

"Nggak, Inang... " Suaraku terasa bergetar.

"Kau harus tau istri dari tiga abang iparmu, itu semua mati tidak wajar. Istri abangnya yang pertama mati meninggalkan 1 anak. Istri abangnya yang kedua mati meninggalkan 2 anak, dan istri abangnya yang ketiga mati dalam keadaan hamil 7 bulan. Mereka semua sama seperti mertuamu dan sama seperti beberapa warga kampung, semua mati tidak wajar..." 

"Dan, Kau...." Inang berhenti bicara.

"Aku gimana, Inang...?" Aku takut..!

Tak terasa aku menangis dihadapan Inang

"Kau akan menjadi korban berikutnya, kalau kau tidak melawan dengan imanmu..." Inang memberiku semangat.

"Percayalah.. calon suamimu punya cara untuk melindungimu, dia anak paling kecil, di depan mata dia sudah melihat bagaimana ganasnya begu ganjang itu memangsa orang-orang yang dia sayangi, dan dia sudah tau cara menangkalnya." 


Malam itu akhirnya abang cerita semua, tidak ada yang ditutupi.

Calon suamiku bercerita bahwa benar orangtuanya memelihara begu ganjang.

Dulu waktu dia masih kecil, dia ingat ada sengketa tanah antara orangtuanya dengan salah seorang warga kampung itu. Ini awal mula orangtuanya bersekutu dengan kuasa kegelapan. Begu Ganjang itu digunakan untuk meneror dan membunuh lawan sengketa, hingga akhirnya sebidang tanah sengketa itu menjadi milik mereka.

Menurut calon suami, begu ganjang bisa disuruh untuk hal apapun yang diinginkan pemiliknya, tapi syaratnya harus ada tumbal.  

Setiap satu jenis permintaan baru, tidak boleh dilakukan kapan saja. Harus ada syarat tertentu. Misalnya saat ini ingin diberi kelancaran dagang, harus melakukan ritual dan tumbal. Besok misalnya mau minta jualan orang ditutup, tidak bisa. Kecuali si pemelihara memberi tumbal lagi. 

Intinya satu ritual, satu tumbal, untuk satu permintaan si pemelihara begu ganjang. 

Masih menurut calon suami. Pemelihara begu ganjang yang meminta sesuatu dari begu ganjang, harus melakukan ritual mandi bulan. Pemelihara begu ganjang akan melakukan ritual itu di luar rumah saat tengah malam, bisa dilakukan di ladang, di belakang rumah atau dimana saja yang langsung terkena sinar bulan. Itu makanya para pemelihara begu ganjang selalu melakukan ritual itu saat terang bulan. Dengan kata lain, tidak ada ritual pemberian tumbal kalau tidak terang bulan. 

"Jadi, apa benar istri abangmu menjadi tumbal begu ganjang?" Aku memotong ceritanya.

"Kurasa iya..." Kata calon suami geram.

"Malam sebelum kakak meninggal, aku masih melihat orang bapak melakukan ritual di ladang belakang" Kata dia.

"Itu sebabnya setamat SMP aku lari ke rumah Inanguda ini, aku disekolahkan Inanguda, dididik ilmu agama dan sedikit kearifan lokal diberikan untukku..."

"Itulah awal hubungan kami renggang... " Kata Inang.

"Mertuamu tidak suka anaknya tinggal disini, padahal kami tidak pernah menarik anaknya kesini, dan itu awal mertuamu (Bapaudanya calon suami) jadi korban begu ganjang itu." Inang kelihatan emosi.

Hening.... 

Kemi terbawa dengan pikiran masing-masing.

"Apakah kau juga akan membiarkan aku menjadi tumbal orangtuamu? Mumpung kita belum jadi menikah, biar bisa aku pulang." Aku bertanya serius memecah keheningan.

"Aku percaya dia bisa menjagamu Inang, aku mengenal dia lebih dari bapak mamaknya mengenal dia." Inang menjawab meyakinkan aku.

"Kalau dari awal kita jumpa aku ceritakan ini, pasti kau tidak mau samaku. Aku menyayangimu, aku tidak ingin kehilanganmu makanya aku rahasiakan. Aku yakin bisa melindungimu...." Kata calon suami.

Malam itu Inang bicara.

"Besok kalau sudah pulang kalian, saat kau masuk rumah katakan dalam hatimu 'di dalam nama Yesus aku memasuki rumah ini'. Segala kuasa kegelapan akan takut kepada Tuhan jika kita sungguh-sungguh meyakini Tuhan dengan iman di hati kita."

Malam itu seperti ada kedamaian di hatiku.

Aku tidur lelep.
Aku tidak bermimpi apapun... 

Aku terbangun esok harinya dan mendapati calon suami masih ngorok sambil memeluk bantal guling. 

Aku memandangi wajahnya.

Dalam hati aku berkata : "Bagaimana mungkin lelaki setampan dan sebaik ini anak pemelihara begu ganjang?"

Dia begitu tampan, aku harus mengakuinya.


Sejak datang ke rumah calon mertua ini, aku tidak menyadari satu hal bahwa keluarga calon mertuaku ini benar-benar terkucil dari kehidupan sosial masyarakat. 

Aku menyadari itu setelah menjelang hari pernikahan, tidak ada satu pun warga yang sudi datang ke rumah untuk bantu-bantu seperti lazimnya acara di kampung. 

Setiap kali aku keluar rumah, para tetangga memandangi aku seraya berbisik. Salah seorang wanita paruh baya pernah berkata kepadaku saat aku beli sayuran di warung.

"Siapkan mentalmu, kau berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar." 

Aku hanya tersenyum..

Ingin rasanya cepat-cepat pesta ini berakhir dan kami segera kembali ke Medan, berasa setiap detik aku mengalami hal-hal horor di rumah ini. 

Aku masih ingat saat kembali dari rumah Inang (Inanguda calon suami), aku berdoa dalam hati ketika akan masuk ke rumah.

"Aku masuki rumah ini di dalam nama Tuhan Yesus....."

Aku seperti mendengar suara marah yang sangat berat dari kamar belakang.

"Ahhhhhh......" seperti suara orang marah 


Malam sebelum hari pernikahan..

Hanya beberapa keluarga inti yang datang, tidak lebih dari 10 orang. Tapi lumayan ramailah dibanding malam biasanya yang hanya kami berempat di rumah ini.

Malam itu antara tidur dan tidak, aku merasa ada pesta lain di dunia yang lain. Aku merasakan keramaian entah bagaimana aku menjabarkannya. 

Seperti orang berpesta... 

Ada yang mendahului pestaku dari dunia yang lain.

Jam 2 malam saat semua orang sudah tidur, aku masuk ke kamar belakang. Dari sini sumber suara pesta antah-berantah itu. 

Menyeramkan berada di kamar ini, tapi aku paksakan. Aku akan mengenalkan diri kepada penghuni kamar ini, supaya dia tau siapa aku. 

Aku merasakan sosok besar itu berdiri dihadapanku, aku tidak melihatnya.

Aku pejamkan mata sambil menarik nafas...

Terasa bulu kudukku merinding, 

Saat aku membuka mata sekejap, aku melihat kaki yang besar itu, sangat besar... 

Aku terperanjat.

"Tuhan Yesus bersertaku...." Aku ucapkan itu sambil memandang ke arah kaki besar yang sudah tidak kelihatan lagi.

Aku marah...!!!

"Aku bukan manusia lemah yang dapat kau takut-takuti, aku tidak akan pernah menjadi tumbalmu. Aku tidak akan pernah tunduk pada kuasa kegelapan, ingat itu. Jangan sekali-kali mengganggu aku karena aku datang ke rumah ini baik-baik dan aku tidak pernah mengganggumu....." Kataku setengah suara sambil berlalu dari kamar itu.

Baru saja aku menyibakkan gorden hendak ke luar kamar, betapa terkejutnya aku melihat ayah mertua sudah berdiri di depan pintu dengan mata melotot.

"Ehh, Amang...." Kataku gugup

"Ngapain, Bapak disitu....?" Terdengar suara lain membentak.

Ternyata calon suamiku juga ada disitu dari arah yang berbeda. 

"Mau ke kamar mandi..." Kata Ayah mertua dingin.

Aku segera berlalu ke ruang tamu tempat kami tidur. Aku masih mendengar calon suamiku berkata.

"Udah waktunya Bapak buang semua, sebelum aku yang membuang..."

Selanjutnya aku mendengar mereka bertengkar hebat.


Hari pernikahan tiba..

Aku tidak perlu ceritakan pernikahan itu, sebab pernikahanku tidak ubahnya seperti pesta ulang tahun anak-anak, tidak ada satupun orang kampung itu yang datang. Keluarga dari pihak mertua juga bisa dihitung jari...

Anggap saja sudah selesai pesta pernikahan itu, yang penting kami sudah sah sebagai suami istri...

Aku ingin menceritakan malam pertama kami yang tertunda akibat kuasa kegelapan itu. 

Aku merasakan betapa ributnya rumah ini malam itu, tidak ada yang mendengar keributan itu selain aku (mungkin kedua mertuaku pasti mendengar itu, pasti...) 

Aku bilang sama suami, kalau aku mendengar suara yang meraung raung dari kamar belakang.

Suamiku mengambil sesuatu dari dompet, bergegas ke kamar belakang.

Aku mengikutinya... 

Dia melemparkan entah apa yang diambilnya dari dompet tadi ke arah lemari kayu. Kamar ini menjadi seperti penuh sesak dengan entah apa wujud penghuninya. 

Samar-samar aku melihat sosok yang besar. Kali ini kelihatan dengan wajah yang meyeramkan, tinggi besar berwarna hitam.

Kelihatan sosok itu marah sekali kepada suamiku.

Aku baru akan melipat tanganku untuk berdoa ketika tiba-tiba tubuhku terdorong...

Mertuaku masuk tiba-tiba dan menabrak tubuhku.

"Apa yang kau lakukan...? Kurang ajar kau...." 

Terdengar suara bentakan mertua.

"Aku akan membuang mahluk ini..." Kata suamiku dengan membentak.

"Apa-apaan kau, anak kurang ajar..." Terlihat mertua melayangkan tinjunya ke arah suamiku.

Suami mengelak, mendorong mertua.

Mertua tersungkur ke lantai. Menatap suamiku dengan muka garang.

"Bapak harus membuang dia sebelum bapak yang dimakan..." Kata suamiku dengan nada marah.

"Diam kau..." Kata mertua sambil mengacungkan jari telunjuk.

Aku mendengar suara meraung entah seperti raungan apa.

Sekelebat aku melihat sosok itu lagi mengayunkan kedua tangannya yang besar hendak mencekik suamiku.

"Bang....? Awas...." Aku berteriak

Segera aku berdoa.

"Tuhan Yesus, usir segala kuasa kegelapan dari rumah ini..."

Aku melihat Ayah mertua tergopoh-gopoh berjalan ke arah lemari kayu itu seperti hendak melindungi sesuatu dari pandanganku.

Segera aku menarik tangan suamiku.

"Ayo, Bang..." 

Aku memaksa suami masuk kamar. Aku memeluk dia, menenangkan dia...

Aku ajak dia berdoa. Aku melipat tangan suami bersama tanganku.

Dalam pergumulan doa kami, aku masih mendengar suara-suara raungan itu seperti ada di atas kepalaku.

Sangat berat rasanya kepala ini hendak diangkat, seperti ada kekuatan besar yang menekan.

Sekuat tenaga aku mengangkat kepala, menengadah ke atas sambil menutup mata.

Berkali kali aku dan suami berteriak "di dalam nama Yesus".

Sekian lama hingga benar-benar suara itu menghilang... 

Hening... 

Aku seperti baru memasuki alam lain yang sangat mengerikan... 

Aku menangis... 

Terbayang betapa mengerikan hal yang kualami selama seminggu disini. Dalam 27 tahun usiaku di dunia ini tidak pernah aku mengalami kejadian mistis yang begitu mengerikan. 

Disaat orang tua dan teman-temanku berpikir aku sedang menikmati madu cinta yang indah, mereka tidak tau aku sedang bergumul dengan kuasa kegelapan... 

Aku bertaruh nyawa demi orang yang aku kasihi, orang yang selama ini banyak menguatkan aku. Orang yang selama ini aku yakini bisa menjadi suami yang baik dalam hidupku... 

Aku menangis tersedu.... 

Aku tersentak dari tangisan manakala aku merasakan pelukan yang lembut dari suamiku.

Dia membelai rambutku... 

Dia semakin erat memeluk aku, seolah-olah dia tidak ingin kehilanganku... 

"Kita pulang besok, Dek.. Pagi sekali, trip pertama travel. Aku hanya butuh orang tuaku untuk mensahkan hubungan kita ini, karena aku tidak mau menikah tanpa restu orangtua. Aku tidak mau menikah di bawah tangan, aku ingin menikah sah secara agama, adat dan restu orang tua. Sekarang sudah kudapat dan aku tidak butuh mereka lagi." 

"Abang nggak boleh bilang gitu. Apapun yang mereka lakukan, mereka tetap orangtuamu..." 

Aku berusaha tidak membakar emosi suamiku. Aku orang lain disini, aku tidak boleh memanas-manasi hubungan anak dan orangtua... 

"Biarkan aja... " Kata suami dongkol.

Tidak sengaja aku melihat leher belakang suami, hitam seperti tertimpa sesuatu.

"Kenapa leher Abang ini....?" Aku bertanya ketakutan.

Merinding.... 

Aku kuatir.

Suami berdiri ke arah cermin, memutar badannya dan mengamati leher bagian belakang.

"Kau tidak merasakan sesuatu saat kita berdoa tadi...?" Suami bertanya sambil tetap menatap cermin.

"Aku merasakan seperti ada yang menekan kepalaku, Bang...." 

Aku berdiri mendekati suami di cermin.

"Mungkin mahluk itu menginjak leherku tadi" Kata suami sambil memijit-mijit lehernya.

"Sakit, Bang...?" Aku bertanya.

"Nggak, abaikan aja.... " Kata suami sambil bergegas mengemasi barang dan pakaian kami...

"Ayo kita beberes, pagi sekali kita harus pergi" 


Masih jam 5 pagi, kami sudah siap-siap akan berangkat.

Bayangkan betapa lelah dan remuknya tubuh ini, malam sebelum pesta, aku tidak tidur. Hari H pesta dari pagi sampai sore lumayan capek, malamnya bertarung dengan begu ganjang, dan pagi ini kami sudah harus pulang ke Medan. Dua hari tidak tidur, tapi nggak apa-apa, nanti bisa tidur di bus. 

Saat kami ke luar kamar, Ibu mertua sudah bangun dan menatap kami dengan tatapan kosong... 

Aku mencolek pinggang suami.

"Kami harus pulang ke Medan pagi ini, Mak.. Doakan kami selamat sampai Medan." Kata suami sambil menyalami Ibu mertua.

Aku memeluk Ibu mertua.

"Mulak ma jolo hami, Inang. Sehat-sehat ma Inang dohot Amang dison." (Pulanglah dulu kami, Ibu. Sehat-sehatlah Ibu dengan Bapak mertua disini)

Tatapannya kosong...

"Cepat kali kalian pulang, harusnya kami mengantar kalian ke Medan..." Kata Ibu mertua.

Tersirat nada suara yang sedih.

"Masih banyak urusan kami, lain waktu mamak bisa datang ke Medan..." Kata suami sambil mengajak aku pergi.

Sebenarnya aku tidak tega melihat wajah Ibu mertua, tapi aku harus segera tinggalkan rumah ini demi kebaikanku dan suamiku. 


Kami tertidur pulas dalam perjalanan. Suami sengaja bayar tiga kursi untuk kami berdua, agar kami bisa bebas selonjoran tanpa terganggu orang lain.

Kami baru terbangun ketika mendengar teriakan kernet bus.

"Makka Minu, Makka Minu..."

Itu bahasa pasaran para kernet bus, yang artinya bus berhenti untuk "makan minum." 

Bus ini berhenti di kota wisata Parapat untuk memberi waktu kepada penumpang mengisi perut.

"Kita sampai disini aja dek...." Kata suami.

"Loh, maksudnya gimana?" Aku heran

"Nanti sambil makan Abang ceritakan, ayo bawa semua barang kita. Jangan ada yang tertinggal." Kata suami

Aku nurut aja..

Suami mendekati supir bus.

"Olat ni on ma hami, Lae. Dang sahat hami tu Medan. Adong urusannami dison." (Sampai disini aja kami, Lae. Nggak sampai kami ke Medan. Lagi ada urusan kami disini). Kata suami.

Supir dan kernet bus mengangguk-angguk tanda setuju.

Kami masuk ke rumah makan, memesan menu kesukaan masing-masing. 

"Kita nanti pulang lewat Tele." Kata suami.

"Kok gitu, Bang? Bukannya mutar makin jauh? Bisa sampai pagi kita di Medan." Kataku heran.

"Demi kebaikan kita..." Kata suami meyakinkan.

Menurut suami, ada kearifan lokal warga setempat bahwa kekuatan-kekuatan seperti yang kami alami mau ngikut kemana orang yang diincar pergi. Untuk memutuskannya, harus menyebrang laut atau danau. Jadi dari kota wisata Parapat ini, kami akan menyebrang menggunakan kapal Ferry menuju Pulau Samosir, dan dari sana nanti kami akan naik travel menuju Medan via Kabupaten Dairi. 

Harusnya dari kota wisata Parapat ke Medan tinggal menempuh 3 jam perjalanan. Tapi demi kebaikan bersama, kami harus mutar lagi dengan durasi perjalanan sekitar 7 sampai 8 jam. 


Di dalam kapal Ferry suami bercerita, sebenarnya dulu orangtuanya sudah pernah hampir dihakimi warga setempat, didemo... 

Tapi saat itu, pihak berwajib menekankan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan dunia gaib tidak masuk ke ranah hukum. Jika terjadi apa-apa dengan korban, maka yang akan ditindaklanjuti secara hukum adalah para pelaku penganiayaan. 

Saat itu ada beberapa orang di kampung yang mati tidak wajar, leher menghitam seperti kena cekik, dan beberapa ada yang sampai lidahnya terjulur. 

Masih menurut suami, anak dari lawan sengketa tanah mertua yang dulu juga mati, pernah melihat mertua melakukan ritual mandi bulan. 

Itu sebabnya warga kampung pernah akan membakar rumah mertua, tapi urung karena pertimbangan hukum. 

Setelah itu (masih menurut suami), warga setempat mendatangkan 3 orang Datu Bolon (dukun) dari sebuah kota kecil yang sangat terkenal dengan dukun-dukun sakti.

Warga kampung melakukan ritual jaga badan yang dipimpin 3 dukun panggilan itu. 

Ternyata kekuatan 3 orang dukun sakti itu sangat kuat, sehingga begu ganjang mertua tidak sanggup memangsa warga setempat. 

Mertua mulai kalut.

Begu ganjang dan sejenis mahluk mistis piaraan lainnya tidak bisa terlalu lama tidak diberi makan. Mahluk itu akan marah. 

Saat itulah mertua kebingungan, karena sudah lama piaraanya tidak makan. Daripada mertua sendiri yang dimakan, terpaksa mertua mengorbankan menantu dan adik kandungnya sendiri. 

"Berarti saat ini udah lama begu ganjang itu nggak makan, Bang?" Tanyaku ngeri.

"Sepertinya terakhir dia makan tumbal 4 atau 5 tahun yang lalu saat kakak (istri abang nomor 2) meninggal tidak wajar...."

Dalam hembusan angin danau yang sepoi, suami memeluk aku, merebahkan kepalaku di dadanya. Aku merasa nyaman.

Dia berbisik ditelingaku.

"Aku harap kau memandang aku apa adanya tanpa bayang-bayang keburukan orangtuaku." 

Aku mengangguk sambil menggenggam erat tangannya.

Dalam hati aku berkata: "Jika melihat ketampananmu, orang nggak akan percaya ayahmu pemelihara begu ganjang."


Tahun 2012

Setahun setelah pernikahan itu, kembali kami harus berjuang melawan kekuatan itu.

Seperti ada yang mengikuti aku, perutku terasa panas.

Aku selalu berkonsultasi dengan Inang (Inangudanya suami), melalui telepon.

"Dalam kehamilan 7 bulan seperti ini, darahmu sangat manis dan harum. Tetap andalkan Tuhan dalam setiap langkahmu." Begitu suara Inang dari seberang.

"Kau masih dalam incaran, tapi tenang saja, tidak akan kubiarkan kau mengalami hal buruk. Aku akan sangat menyesal jika terjadi apa-apa denganmu dan kandunganmu." Lanjut Inang

Hari ini pagi-pagi sekali suami sudah berangkat ke pool bus. Suami akan pergi ke rumah Inang untuk mengambil sesuatu. Aku tidak bertanya sesuatu apa. Aku percaya saja demi kebaikan kami. Suami sengaja pergi pagi, supaya bisa pulang malam. Karena aku takut sendirian dalam keadaan hamil 7 bulan, apalagi dengan ada gangguan mistik seperti ini.

Seperti kata Inang, mereka tidak akan melibatkan aku dalam hal-hal apapun yang berhubungan dengan keduniawian dalam masalah ini. Tugasku hanya berdoa, baca Alkitab, dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Urusan yang lain, mereka berdua yang melaksanakan.

Tapi seingatku, suami tidak pernah memberi mantra atau penangkal apapun di badanku. Cuma dia dan Inang yang melakukan entah dengan cara apa, aku tidak tau. 


Suatu malam saat usia kehamilanku 7 bulan 2 minggu, aku merasakan perutku panas sekali. Aku sampai berguling-guling menahan rasa panas itu.

Dalam kesakitan itu, aku menyanyikan lagu pujian kepada Tuhan.

Aku berdoa... 

Suami mondar-mandir di ruang tamu dengan wajah tegang, mulutnya seperti membacakan sesuatu, entah apa...

Tiba tiba aku mendengar suara ribut di dapur.

Aku berlari..

Aku melihat suamiku di dapur, seperti sedang berhadapan dengan sesuatu. Tangannya mencengkram erat sebuah bungkusan putih.

Tubuhnya penuh keringat..

Dia seperti melawan sesuatu kekuatan yang sangat besar.

Berkali kali aku mendengar suami berkata:

"Tuhan Yesus kekuatanku...."

Prang.... Prang.... Prang....

Tiba tiba rak piring tumbang seperti ada yang terjatuh disitu. Berserakan semua piring, gelas dan peralatan dapur.

Suami memberi kode dengan tangan, agar aku menyingkir ke kamar. Aku segera berlari ke kamar..

Aku bersujut, menengadahkan kepala ke atas dengan mata terpejam. Aku berdoa mohon perlindungan Tuhan.

"Tuhan Yesus jaga aku, kandunganku dan suamiku dari gangguan kuasa kegelapan. Usir dan bersihkan rumah ini dari roh-roh kegelapan..."

Entah berapa lama hal itu terjadi hingga tiba-tiba suasana hening. Aku tidak mendengar suara apapun

Aku segera berlari ke dapur dan mendapati suami terkulai tak berdaya diantara barang-barang yang berserakan.

"Bang....." Aku berlari memeluk suami. Aku ciumi wajahnya sambil menangis.

"Bang....." Aku goncang tubuhnya.

Suamiku membuka matanya...

Ya Tuhan, terimakasih. Aku pikir suamiku mati.

Segera aku memberi suami minum supaya tenang.

"Dia sudah pergi...." Kata suami sambil memeluk aku.

Suami mengelus elus kandunganku dengan penuh haru.


Esok harinya kami mendapat telepon dari salah satu family di kampung yang mengabarkan Ayah mertua meninggal. 

Aku terkejut, tapi suami nggak.

"Dia menjadi tumbal piaraannya sendiri." Kata suami.

"Aku aja yang pulang. Kamu disini aja. Ajak adik sepupu tinggal disini. Bila perlu temanmu juga ajak tidur disini beberapa hari ini biar ramai, biar kau nggak ketakutan." 

Singkat cerita, suami pulang untuk mengurus pemakaman Ayah mertua.


Sebulan setelah Ayah mertua meninggal, kami sepakat untuk memboyong Ibu mertua kesini. Suami pulang lagi ke kampung untuk urusan itu.

Atas izin kepala desa, dan para orangtua di kampung, suami bersama abang-abangnya membakar rumah itu.

Suami juga mengizinkan siapa saja warga setempat yang ingin mengolah tanah itu untuk berkebun atau beternak, sampai nanti beberapa tahun lagi suami memikirkan apakah tanah itu akan dijual atau mau diapain


Puji Tuhan sekarang Ibu mertua udah ''lahir baru." Aku selalu membawa Ibu mertua ke persekutuan-persekutuan doa. 

Awal-awalnya sulit, tapi lama-kelaman aku bisa menuntun Ibu mertua ke jalan Tuhan.

Dalam satu kesempatan di gereja, Ibu mertua juga sudah memberi kesaksian dan menyerahkan hidupnya untuk Tuhan. 

Ibu mertua sudah memohon ampun kepada Tuhan atas segala dosa-dosa di masa lalu.

Sekarang aku sudah hidup tenang dan bahagia bersama suami dan dua orang anak yang sehat-sehat didampingi ibu mertua yang sudah "lahir baru."

Puji Syukur kepada Tuhan kekuatan abadiku.


Tamat

Oleh: Marulak Sinurat
Editor: Yunus Purba

Post a Comment for "Kisah Nyata Tentang Begu Ganjang"